Kilas Sejarah

Kejeruan Metar Bilad Deli

Kembali ke Sejarah Deli

Bermula dari perjalanan seorang Raja dari Negeri Ahmadnagar yang terletak di barat laut Dekkan, antara Gujarat dan Bijapur di India Selatan. Raja itu bernama Mani Purindan[1]. Dikisahkan Mani Purindan dalam mengarungi Samudera dengan misi untuk melihat daerah lain menggunakan Kapal. Saat Mani Purindan melewati samudera laut Aceh, kapal yang ditumpangi oleh Mani Purindan itu beserta dengan beberapa orang pengawalnya pecah karena badai yang besar. Menggunakan peralatan mengapung seadanya, salah satu peralatan itu adalah Gong bernama Anjing Laut yang terbuat dari logam mulia, akhirnya Mani Purindan dan rombongannya terdampar di Pantai Kerajaan Aceh (Samudera Pasai) yang masa itu Rajanya adalah Haidar Bin Malik al Saiyid. Masyarakat pesisir pantai yang melihat terdamparnya ketujuh orang dari Negeri Ahmadnagar melihat beberapa keanehan yang salah satu diantaranya adalah terbaringnya salah satu dari ke tujuh orang itu berada di atas badan enam orang yang lain dalam keadaan melintang. Terdamparnya tujuh orang asing itu selanjutnya di laporkan masyarakat pesisir pantai Aceh pada Sang Raja Aceh (Samudera Pasai). Selanjutnya setelah dibawa ke Istana barulah Raja Aceh mengetahui salah satu diantara mereka adalah seorang Raja dari Kerajaan Ahmadnagar bernama Mani Purindan, lalu Raja Aceh (Samudera Pasai) mengawinkan Mani Purindan dengan salah seorang anaknya yang bernama Nahrisyah Rawangsa[2].

Dari perkawninan ini pasangan itu memperoleh dua orang putra yang bernama Tuanku Saidi Marhum dan Tuanku Saidi Abdul Falaif sebagai anak keduanya. Pada masa dewasanya Tuanku Saidi Marhum diangkat menjadi Raja Perlak[3] di Pasai dan Tuanku Saidi Abdul Falaif diutus ke Negeri Deli sebagai Panglima Raja Aceh (Samudera Pasai). Tuanku Saidi Abdul Falaif di Tanah Deli mempersunting Puteri Datuk Serbanyaman bernama Nang Baluan. Dalam perkawinan itu Tuanku Saidi Abdul Falaif memperoleh dua orang anak laki-laki bernama Gunja Pahlawan dan Jugi. Gunja Pahlawan lalu menjadi satu-satunya Putra Deli yang menjadi Panglima Aceh, sedangkan Jugi tidak diketahui kabar beritanya. Dalam perjalanan karirnya Gunja Pahlawan memperoleh gelar Sri Johan Indera Pahlawan. Gunja Pahlawan kemudian menikahi Puteri Kejeruan Sinembah. Putera dari Gunja Pahlawan inilah yang kemudian membawa marga Sembiring Pelawi (Sembiring yang di-rajakan). Dalam perkawinannya dengan Suripuan Kejeruan Sinembah, Gunja Pahlawan memperoleh anak bernama Tengku Panglima Tua[4] dan Tengku Kesawan. Tengku Panglima Tua dalam hidupnya memperoleh seorang anak bernama Tengku Sutan Panglima, sedangkan saudaranya Tengku Kesawan pindah ke Serba Jadi memperoleh dua orang Putra bernama Tengku Laiddin dan Tengku Aripin, kedua orang Putra Tengku Kesawan inilah yang menjadi asal muasal Kejeruan Santun Serba Jadi.

Sementara Tengku Sutan Panglima mempunyai anak dua orang yang bernama Tengku Mahmud yang bergelar Tengku Kejeruan Ketaren dan Tengku Mahidin yang bergelar Tengku Kejeruan Padang dan dari Tengku Kejeruan Padang inilah asal usul Raja-raja Deli dan Raja-raja Serdang yang sekarang ini.

Setelah waktu berselang Tengku Kejuruan Ketaren memperoleh anak bernama Tengku Jalaluddin (Asal Usul Kejeruan Metar Bilad Deli). Sementara Tengku Kejeruan Padang inilah berputera Tengku Derap dan Tengku Umar.

Semasa dewasanya Tengku Jalaluddin yang bersaudara dengan Tengku Derap dan Tengku Umar, mereka bersilaturahmi selalu, walaupun dalam kesehari-hariannya mereka melakukan aktivitas masing-masing, dalam masa itu di Tanah Deli masih dalam pemerintaha otonom satu sama lain karena belum adanya seseorang yang di-Rajakan, oleh karena itu diantara Kedatukan Deli berangkatlah ke Negeri Aceh atas permintaan Raja Aceh masa itu. Kedatukan yang pada masa itu disebut Raja Aceh dengan sebutan Suku, berangkat ke Aceh, diantaranya Suku Sinembah (Datuk Patumbak) karena dia yang pertama menyembah disebutlah oleh Sultan Aceh menjadi Datuk Sinembah atau yang pertama kali menyembah, kedua suku Serbanyaman (Datuk Sunggal) ketiga Suku Sepuluh Dua Kota (Datuk Hamparan Perak) keempat Suku Suka Piring (Datuk Kampung Baru) dan kelima Suku Ujung (Kejeruan Ujung daerah Serba Jadi). Pada kesempatan itu dirembukkanlah siapa yang paling pantas untuk di-Rajakan di Tanah Deli sebagai Pemimpin Tanah Deli. Berdasarkan silsisilah dan kajian kelayakan diputuskan Raja Aceh yang berunding dengan 5 suku di Tanah Deli, bahwa Tengku Derap bin Tengku Mahidin-lah yang paling berhak menjadi Raja di Tanah Deli. Selanjutnya Raja Aceh menitahkan perwakilan 5 Suku Deli ini menyampaikan khabar bahagia ini kepada Tengku Derap, dalam titah itu juga Sang Raja Aceh berkata:

“Hai Hulubalang Negeri Aceh (Sebutan Suku dari Raja Aceh) pulanglah kamu ke Negeri Deli, Engkau Rajakan Rajamu itu Panglima tiap-tiap adanya adalah Kejeruan Metar, itulah Rajamu adapun Kerajaan Raja itu Kejeruan Metarlah Pemangkunya. Dan apabila habis Rajamu itu atau sudah habis sebangsanya maka Suku Serbanyaman itulah Engkau mencari Raja yang tentu menjadi Raja. Adapun Serbanyaman itu ibarat Kapal Kepada Raja itu dan Suku Sinembah ibarat Lorong pada Raja itu, maka engkau Kelimalah yang memeliharakan Rajamu itu dan Serbanyaman itu ULUN JANJI”, pesan Raja Aceh pada lima orang utusan Deli itu.

Mendapat kabar mengenai penunjukan Tengku Derap bin Tengku Mahidin menjadi Raja Deli, beliau (Tengku Derap) menyambut kabar itu dengan suka cita, tapi mengingat dirinya adalah anak dari Tengku Mahidin yang merpakan saudara kedua dari Tengku Mahmud, maka Tengku Derap menganggap yang paling berhak dalam memerintah Negeri Deli ini adalah Tengku Jalaluddin sebagai anak dari Tengku Mahmud. Selanjutnya Tengku Derap menyarankan agar Lima Datuk (Suku) mengalihkan kewenang itu pada abang Sepupunya Tengku Jalaluddin untuk memimpin Negeri Deli.

Permintaan Tengku Derap melalui Lima Datuk itu didengar oleh Tengku Jalaluddin, tapi dia menolak menjadi Raja Deli, timbul kebingungan Para Datuk saat itu, lalu Tengku Jalaluddin menyarankan agar Lima Datuk bersama dirinya berangkat ke Rumah Tengku Derap untuk meminta adik sepupunya itu menjadi Raja Deli, sedangkan dirinya tetap menjadi Kejeruan Metar Bilad Deli yang bermukim di Negeri Deli Bagian Utara yang memiliki wilayah diatur sendiri.

Setelah permintaan itu disampaikan pada Tengku Derap maka resmilah Tengku Derap yang menjadi Raja Deli dengan Gelar Sutan Panglima Paderap Syah yang dinobatkan Kedatukan dan dibantu oleh Kejeruan yang ada di tanah Deli, kedudukan Raja pada masa ini di Rantau Baru. Rapat pertama setelah diangkatnya Tengku Derap menjadi Raja Negeri Deli dengan Gelar Sutan Panglima Pederap Syah dilaksanakan di Jabi Rambai yang berlokasi di Seberang Sungai –Titipapan. Saat itu sekalian Pemangku Adat, Kedatukan dan dan masing-masing Kejeruan berkumpul di Jabi Rambai. Saat itulah Titah pertama Sang Sutan Panglima Pederap Syah di sampaikan yang isinya mengatakan wilayah Kejeruan Metar Bilad Deli yang merupakan pimpinan abang sepupunya yaitu Tengku Jalaluddin meliputi ilirnya (timur) kampung alai (Simpang Kantor sekarang) Sebelah Ulun (utara) dengan wilayah Gelugur dan Baratnya dengan wilayah Percut serta Timurnya dengan wilayah Sungai Cempaka / Sungai Bederah. Setelah Mufakat itu terucap maka perjanjian lisanpun diadakan dihadapan yang hadir, maka usai acara itu kembalilah para datuk ke asal masing-masing.

Adapun Tuanku Jalaluddin Kejeruan Metar pindah ke daerah Mabar untuk bermukim, dari hasil perkawinannya Tuanku Djalaluddin mendapat tujuh orang anak, empat laki-laki, yaitu:

1. Tuanku Syamsu Ta’jib, yang kemudian menjadi Raja Kejeruan Metar ke II (1709-1789)

2. Tuanku Jamsid

3. Tuanku Sarum Dewa, kemudian menjadi Raja Kejeruan Percut I

4. Tuanku Nasir, bergelar Lebai Deli.

Ada pun tiga orang puteri dari Tuanku Jalaluddin, yaitu:

1. Sri Putri Nur Asyikin, isteri Sultan Aceh Alauddin Johan Syah[5] (1735-1760)

2. Sri Putri Cendera Wasi

3. Sri Putri Nur Jiwa

Selanjutnya Tuanku Syamsu Ta’jib digantikan puteranya Tuanku Nabab Deli Iqro’ sebagai Raja Kejeruan Metar ke III (1735-1807). Sedangkan Tengku Umar yang merupakan adik kandung Sutan Panglima Pederap Syah Raja Deli dipindahkan Tuanku Jalaluddin ke daerah Sedang dan sekalian datuk – datuk yang berada di Serdang harus merajakan Tengku Umar, lalu Tengku Umar mempunyai anak bergelar Sutan Johan dan seorang lagi bernama Tengku Hayat. Setelah Tengku Umar Wafat atas perintah Tengku Kejeruan Metar Bilad Deli, jasad Tengku Umar di Makamkan di Sampali, begitu juga dengan Sutan Johan juga dikebumikan di Sampali karena belum ada Zuriat-Zuriat (keluarganya) di Makamkan di Negeri Serdang. Adapun Tengku Hayat mempunyai dua orang putera bernama Tengku Pangeran dan Tengku Panglima. Sementara Sutan Johan merupakan anak pertama Tengku Umar mempunyai anak bernama Sutan Basyar Syah lalu keturunan selanjutnya dari Sutan Basyar Syah bernama Sutan Basyaruddin.

[1] Dalam Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu disebutkan Mani Purindan adalah anak seorang raja dari benua ‘keling’ yang datang ke Melaka pada akhir abad 14 atau awal abad 15 Masehi. Mani Purindan juga merupakan moyang dari bendahara-bendahara dan temenggung-temenggung Melaka melalui zuriatnya Tun Ali, yang diantara zuriatnya termasuklah Tun Sri Lanang.

[2] Merujuk catatan sejarah karya Ali Hasjmy, Ratu Nahrisyah Rawangsa Khadiyu merupakan puteri dari Sultan Zainal Abidin Malikul Dzahir. Nahrisyah Rawangsa kemudian diangkat menjadi Sultanah pertama Kerajaan Samudera Pasai menggantikan Ayahnya.

[3] Sultan terakhir Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan menikahkan puterinya bernama Ganggang Sari dengan Malik Az-Zahir, putera pendiri Kerajaan Samudera Pasai Malik Al Saleh. Setelah Sultan terakhir Perlak wafat, Perlak resmi bergabung menjadi wilayah federasi Kerajaan Samudera Pasai.

[4] Dalam versi Kesultanan Deli, anak dari Gunja Pahlawan atau Gocah Pahlawan dengan Suripuan Kejuruan/Datuk Sinembah itu bernama Perunggit yang dikenali dengan sebutan Panglima Deli.

[5] Sultan Alauddin Johan Syah adalah Sultan ke 24 Kesultanan Aceh Darussalam, ia merupakan generasi kedua dari Dinasti Bugis yang memerintah Aceh pada tahun 1735-1760. Alauddin Johan Syah adalah anak dari Sultan Alauddin Ahmad Syah atau dikenal sebagai Maharaja Lela Melayu.

Makam Tuanku Nabab Deli Iqro’, Raja Kejeruan Metar Bilad Deli ke III (1735-1807). Lokasi: Areal SPBU Jl. Yos Sudarso KM 10,5, Kelurahan Kota Bangun. Sumber: T. Muhammad Fauzi

Makam Tuanku Samsu Ta’jib, Raja Kejeruan Metar Bilad Deli ke II (1709-1789). Sumber: T. Muhammad Fauzi

Makam Raja Aceh Keturunan Bugis, lokasi: Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh

Makam Raja Aceh Keturunan Bugis. Perkawinan Iskandar Muda dengan Putroe Suni anak Daeng Mansur jadi asal dimulainya Dinasti Bugis di Aceh.

Makam Tuanku Djalaluddin (sumber: T. Muhammad Fauzi)

Makam Gunja/Gotjah Pahlawan di Aceh Besar, inkripsi pada nisan dituliskan “Di sini dikuburkan Orang yang Sahid Tuan Ghacah Sri Pahlawan” (Sumber: dokumen Dr. Suprayitno, M.Hum)

Inkripsi yang terdapat pada nisan Sultanah Nahrisyah (Sumber: Dokumen Tim Ahli Cagar Budaya Nasional tahun 2019)

Makam Ratu Nahrisyah (kiri) di sebelah makam Ayahnya Sultan Zainal Abidin, terletak di Gampong Kuta Kreung, Kecamatan Samudera,